Implikasi Konstruktivisme dalam Proses Pembelajaran
Untuk pertama kalinya, Fitriani Fajar, anak yang baru berumur empat tahun mengamati magnet yang dipegang ayahnya. Ia sangat antusias sekaligus heran melihat magnet dapat menarik besi lain. Kebetulan magnet itu berwarna agak kehitam-hitaman. Tiba-tiba saja Nani bertanya."Ini batu lengket ya Pak?"
Beberapa pertanyaan
dapat dimunculkan berkaitan dengan pendapat Nani di atas, di antaranya:
a. Siapa yang
mengajari Nani sehingga ia memberi nama yang aneh yaitu “batu lengket” untuk
magnet tersebut?
b. Mengapa ia memberi
nama itu dan bukan nama lain?
c. Salahkah jika ia memberi
nama itu?
Apa Inti Konstruktivisme?
Ketika ayahnya bertanya kepada Nani tentang orang yang memberi tahu
bahwa benda itu bernama “batu lengket” ia menjawab: “tidak ada”. Artinya, ia
sendiri yang memberi nama itu. Hal ini telah menunjukkan bahwa ia secara aktif
menanggapi sesuatu informasi atau rangsangan dari luar yang menarik hatinya. Di
samping itu, magnet itu ternyata mirip sekali dengan batu-batuan yang ada di
belakang rumahnya sehingga disebutnya “batu lengket”. Jelaslah bahwa pemberian
nama tadi telah didasrkan pada pengetahuan yang sudah ada di dalam benaknya. Konstruktivisme
menyatakan bahwa pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran
siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman barunya
berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya, sebagaimana
dinyatakan Bodner (1986, p. 873): “Knowledge is construsted as the learner
strives to organize his or her experience in terms of preexisting mental
strustures”. Dengan demikian, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dengan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya. Setiap
siswa harus membangun pengetahuan itu di dalam otaknya sendiri-sendiri.
Konsep magnet yang
dimiliki Nani jelas salah karena ia menganggap yang dapat menarik besi lain itu
adalah batu. Tidak hanya Nani yang berbuat salah seperti itu. Para ilmuwan
pernah menyatakan bahwa benda-benda langit berputar mengelilingi bumi. Jika
para ilmuwan saja pernah memiliki pendapat yang salah dan dapat bertahan selama
dua abad lamanya, apalagi para siswa. Para siswa dapat saja melakukan kesalahan
dengan kadar yang jauh lebih tinggi karena keterbatasan pengalaman, penalaran
dan pengetahuan prasyarat. Di dalam ruang kelas, ada siswa SMP yang menyatakan bahwa (a + b)2 = a2 + b2 karena ia terpengaruh rumus 2(a + b) = 2a + 2b.
Seharusnya (a + b)2 = a2 + 2ab + b2 (Shadiq, 1991).
Nyatalah sekarang
bahwa (a + b)2 telah diperlakukan seperti memperlakukan 2(a + b). Contoh ini sebetulnya
telah menunjukkan inti dari teori konstruktivisme, yaitu para siswa akan secara
aktif membangun pengetahuannya, dalam hal ini ia membangun suatu teori atau
pengetahuan bahwa: (a + b)2 = a2 + b2 berdasar pada pengetahuan yang sudah dimilikinya,
yaitu 2(a + b) =2a + 2b. Siswa tadi jelas melakukan suatu kesalahan yang sangat
mendasar. Meskipun begitu, seorang siswa tidak akan memberikan jawaban yang
salah itu dengan sengaja. Artinya, ia akan tetap meyakini kalau jawaban itu
benar adanya (Shadiq, 1991). Pertanyaan mendasar yang harus dijawab sekarang
adalah: Antisipasi apa yang harus dilakukan agar siswa tidak melakukan
kesalahan seperti itu lagi.
Implikasinya Pada Proses Pembelajaran
Sebagaimana sudah
dinyatakan, tidak setiap pengetahuan dapat dipindahkan dengan mudah dari otak
seorang guru ke dalam otak murid-muridnya. Hanya dengan usaha keras tanpa
mengenal lelah dari siswa sendirilah suatu pengetahuan dapat dibangun dan
diorganisasikan ke dalam kerangka kognitif si siswa tadi. Suatu pengetahuan
yang akan disajikan guru dapat diibaratkan dengan makanan yang akan disajikan
seorang koki. Makanan itu tidak akan pernah dicerna dan pengetahuan tidak akan
pernah dibangun ke dalam kerangka kognitif mereka jika mereka sendiri sama
sekali tidak tertarik untuk mencerna dan mempelajarinya. Agar suatu proses
pembelajaran dapat berhasil dengan gemilang, para guru harus dapat meyakinkan
dirinya sendiri bahwa setiap siswanya dalam keadaan aktif belajar. Untuk itu,
ia harus menegur dan memotivasi para siswa yang kurang bergairah, membimbing
dan membantu para siswa yang mengalami kesulitan dengan penuh kasih sayang,
serta memberi tugas yang lebih menantang bagi para siswa yang lebih cepat.
Ada siswa yang
meyakini bahwa (a + b)2 = a2 + b2 karena terpengaruh rumus 2(a + b) = 2a + 2b. Jika
ia dibiarkan melakukan kesalahan tersebut berulang-ulang maka ia akan menjadi
terbiasa sehingga akan semakin sulit bagi sang guru untuk memperbaiki kesalahan
itu. Dengan demikian, tindakan pencegahan akan lebih berhasil dripada tindakan
penyembuhan. Kesimpulannya, membiarkan suatu kesalahan terjadi berulang-ulang
merupakan suatu kekeliruan dan memperbaiki kesalahan siswa sedini mungkin
merupakan tindakan terpuji dari seorang guru (Shadiq, 1991). Untuk itu, pada
saat membahas topik (a + b)2, seorang guru dapat memulai proses
pembelajaran dengan menanyakan rumus untuk 2(a + b) beserta perkiraan rumus
untuk (a + b)2. Jika ada siswa yang menjawab (a + b)2 = a2 + b2, guru
dapat meminta seluruh siswanya untuk mengganti a dengan 1 dan b dengan 2 untuk
meyakinkan mereka bahwa tidaklah benar (a + b)2 = a2 + b2. Ruas
kiri (a + b)2 = (1 + 2)2 = 32 = 9, sedangkan ruas kanan a2 + b2 = 12 + 22 = 1 + 4 = 5. dengan cara seperti ini diharapkan
para siswa tidak akan salah lagi.
Suatu pengetahuan yang baru akan selalu didasrkan pada pengetahuan yang
sudah ada di dalam kerangka kognitif siswa. Itulah inti konstruktivisme. Dengan
demikian, tidak mungkin suatu bahan baru akan dipahami siswa dengan baik jika
ia tidak memiliki pengetahuan prasyarat. Sebagai contoh, siswa akan sulit
menerima (a + b)2 = a2 + 2ab + b2, jika ia tidak mengetahui bahwa a2 = a.a. Itulah
sebabnya, Ausubel, seorang ahli teori belajar penggagas “belajar bermakna”
menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bodner (1986, p. 877): “the most
important single factor influencing learning is what the learner already knows”.
Hal ini menunjukkan pentingnya memulai proses pembelajaran dari hal-hal yang
sudah diketahui siswa. untuk itu, di saat membahas himpunan kosong misalnya,
seorang guru dapat saja memulai proses pembelajaran dengan mendiskusikan “gelas
kosong” atau “buku kosong”. Karena “buku kosong” sudah diketahui para siswa
merupakan buku yang tidak ada tulisannya maka siswa diharapkan akan memahami
dengan mudah bahwa “himpunan kosong” adalah himpunan yang tidak memiliki
anggota. Di samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek, mengingatkan
kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum ia memulai
membahas topik baru.
Penutup
Suatu pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran siswa
ketika ia berusaha untuk mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada
pengetahuan yang sudah ia miliki. Oleh karena itu, suatu pengetahuan tidak
dapat dipindahkan dari otak seorang guru dengan begitu saja ke dalam otak
siswa. Untuk itu, para siswa harus termotivasi untuk mau belajar dengan
sungguh-sungguh. Di samping itu, kesalahan yang sering dilakukan para siswa
harus diperbaiki sejak dini karena tindakan pencegahan akan jauh lebih berhasil
daripada tindakan penyembuhan. Sebagai tambahan, proses pembelajaran harus
dimulai dari pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran siswa (sudah ada
kerangka kognitifnya) ataupun mudah ditangkap siswa (sudah dibangun kerangka
kognitifnya).
Daftar Pustaka:
Bodner, G.M. (1986).
Constructivism: A theory of knowlwdge. Journal of Chemical Education. Vol.
63(10) pp.0873-878.
Shadiq, Fadjar
(1991). Belajar dari kesalahan siswa untuk menjadi guru berpengalaman. Jakarta:
Suara Guru. No. 6. pp.13-14.
Sumber :
http://andikristanto.blog.uns.ac.id/2010/05/04/implikasi-konstruktivisme-dalam-proses-pembelajaran/
Diakses pada tanggal 1 Maret 2018 10:41
Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar