PKM (Program Kreativitas Mahasiswa)

RISTEKDIKTI, penyelenggara PKM

Program Kreativitas Mahasiswa merupakan salah satu program penulisan ilmiah yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa) dalam rangka meningkatkan inovasi dan kreativitas mahasiswa di Indonesia. Dengan adanya revolusi industri 4.0 yang terkenal akan kecanggihan dalam bidang teknologi informasinya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menaruh harapan pada mahasiswa agar tumbuh dan memiliki sikap inovasi dan kreativitas dalam menghadapi problematika di masa yang akan mendatang sekaligus mengemban Tridharma perguruan tinggi, yaitu penelitian.

PKM pertama kali diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 2001, kemudian pada tahun 2002 mulai dilaksanakannya PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) pada tahun 1988 di Universitas Indonesia di Jakarta. Terdapat lima bidang PKM yang tersedia, yaitu PKM-Penelitian, PKM-Kewirausahaan, PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M), PKM-Teknologi, dan PKM-Penulisan Ilmiah (PKM-I).
Pada tahun 2009, ditambah dua bidang PKM, yaitu PKM Artikel Ilmiah (PKM-AI) dan PKM-Gagasan Tertulis (PKM-GT). PKM-I atau selanjutnya disebut PKM-AI yang merupakan artikel hasil kegiatan, tidak lagi ditampilkan dalam PIMNAS, namun dipublikasikan pada e-journal. Sedangkan PKM-GT yang berpeluang didiskusikan dalam forum terbuka, diposisikan sebagai pengganti PKM-AI di PIMNAS.

PIMNAS, namun dipublikasikan pada e-journal. Sedangkan PKM-GT yang berpeluang didiskusikan dalam forum terbuka, diposisikan sebagai pengganti PKM-AI diPIMNAS. Pada tahun 2011, jumlah bidang PKM bertambah menjadi 7 (tujuh) dengan diperkenalkannya bidang PKM-Karsa Cipta. Pada tahun 2015, terjadi alih kelola PKM dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) ke Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa). Dalam Pedoman PKM ini diperkenalkan satu lagi bidang PKM berbasis media sosial, yaitu PKM-GFK (Gagasan Futuristik Konstruktif) yang berpeluang ditampilkan di PIMNAS.
Pada tahun 2011, jumlah bidang PKM bertambah menjadi 7 (tujuh) dengan diperkenalkannya bidang PKM-Karsa Cipta. Pada tahun 2015, terjadi alih kelola PKM dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) ke Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa). Dalam Pedoman PKM ini diperkenalkan satu lagi bidang PKM berbasis media sosial, yaitu PKM-GFK (Gagasan Futuristik Konstruktif) yang berpeluang ditampilkan di PIMNAS. PKM diperuntukkan bagi mahasiswa di seluruh Perguruan Tinggi melalui penyediaan dana yang bersifat kompetitif, akuntabel dan transparan.

Program ini dikuti oleh perguruan tinggi se-Indonesia, tak terkecuali bagi UNESA. UNESA pernah menyabet 2 juara presentasi terfavorit PIMNAS ke-31 dan meraih medali emas pada PIMNAS ke-30. Prestasi-prestasi inilah yang dapat membanggakan nama perguruan tinggi.

Faktanya, penulis pernah berbincang-bincang dengan mahasiswa yang juga mengikuti program PKM (kebanyakan wajib karena Bidikmisi). Mereka tidak ingin proposal PKM nya lolos menembus PIMNAS, apalagi sampai didanai karena merepotkan. Sudah banyak tugas kuliah yang didapat dari dosen dan wajib membuat proposal PMW yang semakin membuat mereka tertekan.
Mahasiswa mendapatkan kuliah di kampus dalam kondisi penuh dengan tuntutan kemandirian. Dosen jarang menghadiri perkuliahan karena sibuk mengerjakan penelitian yang pada akhirnya memberi tugas-tugas pada mahasiswa, ditambah dengan kewajiban mengerjakan proposal PMW sekaligus PKM dan disertai dengan UTS dan UAS yang semakin mepet. Belum juga ditambah dengan pekerjaan (bila mahasiswa bekerja) karena menunggu bidikmisi yang sampai kini tidak ada kabarnya. Itulah potret kecil pendidikan tinggi kini. Bagaimana bisa mencetak generasi emas yang akan merubah negeri ini apabila kondisinya seperti itu? Kenapa dunia pendidikan menjadi semakin tidak jelas?

Sudah menjadi kebiasaan apabila ingin mengetahui suatu fakta, haruslah dikaitkan dengan sistem sekarang. Dalam mata kuliah metodologi pendidikan, seorang mahasiswa yang notabene seorang intelektual harus mampu berfikir secara sistematis untuk membantunya dalam mengerjakan tugas akhir kuliah. Begitu juga dengan problem pendidikan sekarang.

Kenapa bisa ada PKM, PMW, dan seringnya dosen tidak menghadiri perkuliahan?
Semua hal yang terjadi di dunia pendidikan sekarang tidak bisa dipisahkan dengan WCU (World Class University). WCU adalah suatu universitas yang memiliki SDM yang secara teratur mempublikasikan hasil-hasil penelitian mereka pada jurnal-jurnal paling top dalam disiplin ilmu masing-masing. Lulusan suatu WCU dapat secara mudah bekerja di (negara) mana saja di dunia. (Ambrose King, dalam Mohrman, 2005). Terdapat tiga lembaga penilai wcu, yaitu Shanghai Jia Tong University (SJTU), Times Higher Education Supplement (THES) dan Webometric yang memfokuskan kriteria wcu ke kegiatan riset dan menulis karya ilmiah.
WCU diberlakukan untuk seluruh perguruan tinggi di seluruh dunia karena WCU dirilis oleh negara adidaya, yaitu USA, maka seluruh negara pasti akan menurutinya karena mereka terlibat perjanjian dengan Amerika. Salah satu program dari WCU adalah adanya penelitian-penelitian yang ber-reputasi unggul, memiliki paten dan dikung sponsor/penyandang dana swasta. Dengan adanya program wcu tersebut, maka ristekdikti memprogram adanya PKM (dan sejenisnya) untuk mahasiswa indonesia. Untuk lebih menyemarakkan PKM, maka program beasiswa bidikmisi mewajibkan untuk mahasiswa penerima bidikmisi untuk membuat PKM. Ketika PKM sudah mulai terkumpul dan disetorkan oleh pihak perguruan tinggi ke pihak ristekdikti untuk melalui tahap seleksi. PKM yang memenuhi kriteria akan lolos didanai dan maju menuju panggung PIMNAS. Sang juara mendapatkan apresiasi dan sejumlah uang untuk melaksanakan secara riil apa yang tertulis di proposalnya. Ketika mereka mulai merealisasikan produknya pasti mengalami kesulitan untuk mendapatkan ‘pelanggan’ tetap karena melihat ketatnya persaingan dagang di zaman inovasi sekarang. Sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja sama dengan seseorang yang memiliki link banyak ke seluruh calon ‘pelanggan’. Kerja sama tersebut pastilah memiliki timbal balik bagi kedua belah pihak. Yang mahasiswa mendapatkan link untuk menjual produknya, sedangkan pihak satunya akan mendapatkan sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Apabila produk tsb sudah laku keras, maka pihak ini akan membeli produk mahasiswa tadi dan akan menjualnya lagi dengan harga yang sangat mahal.
Selain itu, pihak perguruan tinggi juga mendapatkan keuntungan yaitu dapat mencentang salah satu borang akreditasi sekaligus mampu mempertahankan akreditasinya apabila sudah mendapatkan predikat “A”. predikat ini yang mampu menjadi daya magnetis bagi para calon mahasiswa baru untuk berbondong – bondong untuk mendaftarkan dirinya ke perguruan tinggi tersebut. Semakin banyak yang daftar, maka semakin banyak uang yang akan didapatkan oleh pihak perguruan tinggi. Semakin bagus akreditasi maka akan semakin mudah untuk menjadi batu loncatan untuk menuju kampus WCU.

 Komersialisasi pendidikan

Dapat disimpulkan bahwa program PKM ini memang mampu membuat mahasiswa untuk berpikir kreatif dan inovatif sekaligus berpikir kapitalis. Mereka menggunakan bakat kreatif dan inovatifnya untuk cara mendapatkan uang. Seperti, ini : buatlah suatu produk yang memiliki daya jual tinggi. Statement ini terus menerus ditiupkan ke otak mahasiswa agar menjadi sebuah motivasi untuk membuat produk yang memiliki daya jual tinggi.
Padahal kita lihat lagi bahwa mahasiswa kuliah dengan biaya dari kerja keras orang tua yang tinggal di suatu masyarakat. Tidak semua masyarakat mendapatkan predikat masyarakat maju, alias masyarakat yang masih rendah taraf berfikirnya. Seharusnya seorang mahasiswa setelah lulus menghasilkan suatu ide/gagasan atau produk yang berasal dari hasil pemikiran kreatif dan inovatifnya untuk masyarakat secara rela dan rela, tanpa minta ganti rugi. Inilah buah hasil dari pendidikan kapitalis, yang menilai semua pendidikan dapat dan harus diuangkan, bagaimanapun caranya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yousei Teikoku Diskografi